Sungguh, aku tak tahu apa yang telah ku lakukan padamu. Sungguh, aku tak tahu apa salahku padamu.
Yang aku tahu, sejak aku mengenalmu aku tak pernah menyakitimu dan tak pernah berniat untuk melakukannya. Namun, mengapa kau begitu tega menyakitiku? Tak tahukah kau bahwa rasanya sangat perih?
Aku telah memberikanmu segala hal yang kupunya yang dapat kuberikan padamu. Bukan, aku bukannya pamrih dan mengharapkan kau memberikanku apa yang kau punya, tetapi paling tidak jangan membuatku merintih perih karena ulahmu. Ya, mungkin memang hal ini bukan murni kesalahanmu, aku tahu bahwa ada seseorang di luar sana yang memulainya dan membuatnya menjadi keruh. Aku pun tahu bahwa kau tidak berniat menyakitiku dan pada awalnya aku pun tidak menyalahkanmu untuk hal itu. Namun sayangnya, kau yang akhirnya melukaiku dengan caramu memperlakukanku.
Mungkin kau lupa, aku juga perempuan, bukan hanya dia. Aku juga punya hati, bukan hanya dia. Aku juga punya perasaan, bukan hanya dia. Aku juga bisa menangis, bukan hanya dia. Dan, aku yang tersakiti di sini, bukan dia. Mungkin salahku juga aku tidak pernah menunjukkan rasa sakitku padamu. Tapi untuk apa? Untuk membuatmu kasihan padaku? Masalahnya, aku tak butuh rasa kasihanmu. Yang kubutuhkan adalah kesadaranmu bahwa aku adalah pihak yang tidak bersalah yang disalahkan. Yang kubutuhkan adalah keadaan dimana kau lebih berani mengambil sikap. Yang kubutuhkan adalah ketegasanmu. Dan semua itu tidak bisa kudapatkan hanya dengan menunjukkan rasa sakitku padamu.
Jangan salah, aku pernah tidak mempermasalahkannya lagi karena aku sudah ingin melupakannya. Namun lagi lagi, sayang, sesuatu yang sama terjadi kembali padaku. Memang, kali ini orang lain yang melakukannya, bukan dia dan bukan karena kamu. Tetapi ironisnya, dia mempunyai andil dalam masalah baru ini. Lagi lagi dia. Belum hilang ingatanku akan sakitnya disalahkan untuk hal yang tak kulakukan, dan tiba-tiba sekarang terulang lagi. Jadi, salahkah bila aku merasa bahwa kejadian kedua ini juga merupakan salahmu karena ketidaktegasanmu sejak awal? Bila kau mengambil tindakan sejak dulu, mungkin hal seperti ini tak akan terulang kembali. Dan aku tak tersakiti untuk yang kedua kali.
Perlu kau tegaskan padanya, aku menganggapmu sebagai adik, tidak lebih dari itu! Kau harusnya dari awal menegaskan padanya bahwa aku tidak melakukan apa pun dan aku sama sekali bukan perempuan yang dia tuduhkan padaku. Kau harusnya menegaskan pula untuk tidak berkata apa-apa tentangku karena dia tidak mengenalku. Bila dari awal kau melakukan itu, tidak akan ada orang lain yang bisa ia pengaruhi untuk menganggapku sebagai perempuan yang ia kira.
Aku tahu bahwa kau dan dia tidak tahu betapa bencinya aku dengan perempuan yang ia tuduhkan padaku. Aku tahu dan sangat tahu bagaimana sakitnya dikhianati sehingga aku takkan pernah melakukan hal yang ia tuduhkan padaku. Aku sangat mengutuk perempuan macam itu. Ketika ia menuduhkan hal itu padaku, kalian menganggap hal ini bisa diluruskan karena hanya kesalahpahaman belaka. Ya, memang benar ini hanya sebuah kesalahpahaman, tetapi tuduhan itu, tanpa kalian tahu, menoreh luka yang sangat dalam di hatiku. Ya, aku pun tahu kalian tidak tahu bahwa aku mempunyai pengalaman yang sangat menyakitkan, bahkan lebih dari menyakitkan, mengenai perempuan seperti itu. Aku yakin, kalian tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan tentang pengkhianatan. Aku yakin, apa yang aku alami tidak pernah kalian alami, dan aku tidak mengharapkan kalian mengalaminya. Sungguh menyakitkan, menyayat hati, dan tak mungkin terlupakan seumur hidup. Sungguh, tuduhan itu seperti pisau yang menusuk dan mengorek-ngorek hatiku sehingga tidak mungkin terobati. Mungkin sakitnya akan hilang, tetapi lukanya akan selamanya membekas.
Luka. Sakit. Perih. Aku tak mau lagi seperti ini. Sudah cukup!
Aku telah memutuskan, lebih baik aku menjauh darimu, sehingga kau tak bisa membuatku menangis lagi.
Archive for May 2010
posted by Tyara Mandasari on True feeling